Dalam kalender Islam, hari Tarwiyah menempati posisi penting sebagai pembuka rangkaian puncak ibadah haji. Setiap tanggal 8 Dzulhijah, para jamaah mulai bergerak meninggalkan Makkah menuju Mina, menapaki jejak para nabi dalam perjalanan spiritual menuju kedekatan dengan Sang Pencipta. Namun, jauh sebelum itu menjadi sebuah rutinitas fisik, dalam literatur klasik Islam, hari Tarwiyyah sarat dengan makna spiritual dan sejarah yang dalam, sebagaimana diuraikan oleh dua ulama besar: Imam Fakhruddin Ar-Razi dan Syekh Nidhamuddin An-Naisaburi.
Imam Fakhruddin Ar-Razi (544–606 H), dalam karya monumentalnya, Tafsir Mafâtîhul Ghaib, menyebutkan bahwa hari Tarwiyah berasal dari kata rawa-yarwi yang berarti “merenung” atau “memikirkan”. Tarwiyyah adalah Sebuah hari yang diselimuti oleh keraguan, pencarian makna, dan perenungan terhadap petunjuk Ilahi. Imam Fakhruddin Ar-Razi merinci tiga riwayat yang memberikan warna historis dan spiritual pada penamaan hari tersebut:
: فَفِيهِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ
أَحَدُهَا: أَنَّ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَمَرَ بِبِنَاءِ الْبَيْتِ، فَلَمَّا بَنَاهُ تَفَكَّرَ فَقَالَ: رَبِّ إِنَّ لِكُلِّ عَامِلٍ أَجْرًا فَمَا أَجْرِي عَلَى هَذَا الْعَمَلِ؟ قَالَ: إِذَا طُفْتَ بِهِ غَفَرْتُ لَكَ ذُنُوبَكَ بِأَوَّلِ شَوْطٍ مِنْ طَوَافِكَ، قَالَ: يَا رَبِّ زِدْنِي قَالَ: أَغْفِرُ لِأَوْلَادِكَ إِذَا طَافُوا بِهِ، قَالَ: زِدْنِي قَالَ: أَغْفِرُ لِكُلِّ مَنِ اسْتَغْفَرَ لَهُ الطَّائِفُونَ مِنْ مُوَحِّدِي أَوْلَادِكَ، قَالَ: حَسْبِي يَا رَبِّ حَسْبِيي
وَثَانِيهَا: أَنَّ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ رَأَى فِي مَنَامِهِ لَيْلَةَ التَّرْوِيَةِ كَأَنَّهُ يَذْبَحُ ابْنَهُ فَأَصْبَحَ مُفَكِّرًا هَلْ هَذَا مِنَ اللَّهِ تَعَالَى أَوْ مِنَ الشَّيْطَانِ؟ فَلَمَّا رَآهُ لَيْلَةَ عَرَفَةَ يُؤْمَرُ بِهِ أَصْبَحَ فَقَالَ: عَرَفْتُ يَا رَبِّ أَنَّهُ مِنْ عِنْدِكَ
وَثَالِثُهَا: أَنَّ أَهْلَ مَكَّةَ يَخْرُجُونَ يَوْمَ التَّرْوِيَةِ إِلَى مِنًى فَيَرْوُونَ فِي الْأَدْعِيَةِ الَّتِي يُرِيدُونَ أَنْ يَذْكُرُوهَا فِي غَدِهِمْ بِعَرَفَاتٍ.
(Fakhuddin Ar-Razi, Tafsîr Mafâtîhul Ghaib, [Bairut, Darul Fikr: 2000], juz V, halaman: 324).
Dari keterangan Imam Fakhruddin Ar-Razi dapat disimpulkan bahwa tiga riwayat tersebut memberikan warna historis dan spiritual pada penamaan Tarwiyah pada hari tersebut:
1. Perenungan Nabi Adam.
Dalam riwayat pertama, Imam Ar-Razi mengisahkan bagaimana Nabi Adam ‘alaihissalâm diperintahkan untuk membangun Ka’bah. Setelah menyelesaikan tugas mulia itu, beliau tidak serta-merta merasa puas. Beliau duduk merenung dan bertanya kepada Allah, “Tuhanku, setiap pekerja pasti mendapat upah. Lalu, apakah upahku atas pembangunan rumah-Mu ini?”
Pertanyaan itu bukanlah bentuk perhitungan, melainkan curahan hati seorang hamba yang merindukan kedekatan dan kasih sayang Tuhan. Allah menjawab dengan kelembutan: “Ketika engkau melakukan tawaf di tempat ini, Aku akan mengampuni dosa-dosamu sejak putaran pertamamu.” Nabi Adam tak berhenti di situ, ia memohon agar pahala itu juga diberikan kepada anak keturunannya. Allah mengabulkan: “Aku akan mengampuni mereka jika mereka melakukan tawaf dan memohon ampun.” Nabi Adam terus memohon hingga Allah berjanji untuk mengampuni siapa saja dari keturunannya yang bertauhid dan didoakan oleh para penziarah. “Cukuplah, ya Rabb, cukuplah,” ujar Nabi Adam. Hari Tarwiyah pun menjadi simbol dialog cinta antara manusia pertama dan Tuhannya—perenungan yang melahirkan rahmat bagi generasi manusia.
2. Ujian Nabi Ibrahim
Riwayat kedua yang disebut Imam Ar-Razi menjelasakan bahwa pada malam Tarwiyah, Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm melihat dalam mimpinya bahwa ia menyembelih anaknya, Ismail. Saat pagi datang, beliau dilanda kebimbangan: Apakah mimpi itu berasal dari Allah, atau hanyalah tipu daya setan?
Hari itu beliau habiskan dalam perenungan yang dalam. Inilah hakikat Tarwiyah—hari ketika seorang nabi agung bergulat dengan kebimbangan, bukan karena kurangnya iman, tetapi karena kehati-hatian dalam menafsirkan kehendak Ilahi. Pada malam berikutnya, yang dikenal sebagai malam Arafah, mimpi itu kembali datang dengan kejelasan yang mematahkan semua keraguan. Maka Ibrahim berkata, “Aku tahu, ya Rabb, bahwa ini perintah-Mu.”
Tarwiyah dalam konteks ini menjadi momen manusiawi yang agung, saat seorang hamba diuji dengan sesuatu yang sangat berat, namun ia memilih merenung dan bersabar hingga yakin penuh bahwa langkahnya sesuai dengan ridha Allah.
3. Tradisi Makkah
Riwayat ketiga menjelaskan bagaimana penduduk Makkah dahulu memaknai hari ini secara praktis dan spiritual. Mereka keluar menuju Mina pada hari Tarwiyah sambil memikirkan dan merancang doa-doa terbaik yang hendak mereka panjatkan di hari Arafah, puncak ibadah haji. Ini menunjukkan bahwa Tarwiyah bukan hanya tentang perenungan dalam arti pasif, tetapi juga aktif merancang niat, harapan, dan pengabdian yang tulus kepada Allah.
Dimensi Sosial Tarwiyah
Menariknya, makna Tarwiyah tidak berhenti pada aspek spiritual semata. Syekh Nidhamuddin an-Naisaburi dalam tafsirnya Tafsîr an-Naisabûri menambahkan dimensi sosial yang sangat menyentuh. Ia menyatakan bahwa hari ini dahulu menjadi waktu bagi penduduk sekitar untuk mengumpulkan air dalam jumlah besar. Air itu kemudian dibagikan kepada para jamaah haji yang kehausan di tengah panasnya gurun dan beratnya perjalanan.
Air yang dikumpulkan dan dibagikan itu bukan hanya pelepas dahaga fisik, tetapi juga menjadi simbol dari rahmat Allah yang akan diberikan kepada mereka yang menempuh perjalanan haji dengan tulus. Ibarat orang yang kehausan di tengah padang pasir, para jamaah haji haus akan rahmat dan ampunan Allah. Maka hari Tarwiyah menjadi awal dari pengharapan itu—ketika segala perbekalan, lahir dan batin, disiapkan untuk meraih ampunan dan kedekatan dengan Allah.
Hari Tarwiyah bukan sekadar penanda waktu menuju Arafah. Ia adalah simbol dari perjalanan batin yang mendalam. Dalam hari ini, tersimpan pelajaran dari para nabi tentang pentingnya berpikir, bertanya, meragukan dengan niat tulus, dan memohon kejelasan dari Allah. Ia mengajarkan kita bahwa dalam setiap perjalanan menuju Tuhan, selalu ada saat untuk berhenti sejenak, menundukkan kepala, dan bertanya: “Apakah langkah ini telah benar di jalan-Mu, ya Rabb?”
Tarwiyah adalah momen suci yang mengingatkan bahwa ibadah tidak dimulai dari gerakan, tapi dari kesadaran. Ia adalah hari di mana kita, seperti Nabi Adam, Nabi Ibrahim, dan umat Makkah terdahulu, diajak untuk merenung, menyusun niat, dan bersiap menyambut limpahan rahmat-Nya di hari-hari berikutnya.
Mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu a’lam.