Rebo wekasan merupakan amalan yang dilakukan pada bulan Shofar, bulan kedua dalam kalender hijriyah. Berbeda dengan bulan-bulan lainnya yang identik dengan fadhilah dan keutamaan tertentu, bulan Shofar ini lebih dikenal oleh orang awam dengan bulan kesialan. Peristiwa-peristiwa tidak mengenakkan sering terjadi menurut mereka. Entah itu karena kebetulan yang berasal dari keyaqinan mereka atau hanya mitos belaka.
Salah satu contoh peristiwa yang paling kita ingat adalah peristiwa ‘Karbala’’, diawali pembunuhan yang sangat sadis kepada Sayyidina Husain RA, cucu Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pada tanggal 10 Muharrom dan rentetan penahanan keluarga Sayyidina Ali RA yang berlangsung sampai bulan shofar, serta bencana alam yang melanda dan peristiwa-peristiwa lainnya yang banyak terjadi di bulan Shofar. Sederet peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi ini tentu saja melahirkan banyak anggapan bahwa dalam bulan shofar akan terjadi kesialan dan turunnya musibah. Walhasil, timbullah berbagai tradisi-tradisi atau amalan dalam rangka mencegah bala’ atau cobaan itu turun.
Meskipun identik dengan bulan kesialan, tidak sedikit kebaikan dan peristiwa penting terjadi di bulan Shofar. Bahkan, Habib Abu Bakar al-‘Adni menyebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan sejumlah aktivitas penting di bulan ini guna menggugurkan anggapan negatif orang-orang pada masa jahiliah. Di antara aktivitas penting yang beliau lakukan adalah:
- Pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Khadijah RA.
- Rasulullah menikahkan Sayyidah Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib.
Beberapa amalan-amalan yang dilakukan oleh masyarakat pada bulan ini diantaranya :
- Shalat sunnah mutlak disertai dengan pembacaan do’a tolak bala’.
- Selametan kampung, biasanya disertai dengan menulis wafak di atas piring kemudian dibilas dengan air, seterusnya dicampurkan dengan air di dalam drum supaya bisa dibagi-bagikan kepada orang banyak untuk diminum.
- Mandi Shofar untuk membuang sial, penyakit, dan hal-hal yang tidak baik.
- Ngapem, semacam kegiatan bersedekah dengan makanan khas daerah.
Kegiatan umum yang paling sering kita jumpai hampir di setiap masyarakat Indonesia yaitu sholat rebo wekasan. apakah kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat terutama sholat rebo wekasan ini termasuk bid’ah atau tidak?
Sebelum kita membahas apakah tradisi-tradisi diatas merupakan perbuatan bid’ah atau tidak. perlu kita ketahui sedikit penjelasan mengenai bid’ah itu sendiri.
Pengertian Bid’ah
- Arti Bid’ah menurut bahasa (Etimologis)
Kata Bid’ah (Jama‘nya; Bida’) secara bahasa berarti ‘sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh terlebih dahulu’ sedangkan pelakunya disebut “mubtadi’ “ atau mubdi’“.
Dalam al-Qur’an, langit dan bumi dikatakan bid’ah, karena Allah subhanahu wata’ala menciptakannya tanpa ada contoh terlebih dahulu. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
بَدِيْعُ السَّموَاتِ وَالأَرْض
“(Allah) Pencipta langit dan bumi (tanpa ada contoh).” (QS. Al-Baqarah :117).
- Arti bid’ah dalam istilah agama (Terminologis)
Adapun mengenai bid’ah dalam istilah agama, para ulama’ telah menjelaskannya setelah melalui proses penelitian terhadap konteks al-Qur’an dan Hadits. Sekiranya ungkapan Imam Syafi’I RA berikut dapat mewakili klasifikasi oleh para ulama’.
Imam Syafi’i RA berkata :
اَلبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ, بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.
“Bid’ah itu ada dua, bid’ah yang terpuji dan yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah (syar’iat) adalah bid’ah yang terpuji, sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah tercela.”
Tradisi-tradisi masyarakat Jawa semuanya merupakan bid’ah, apabila kita hanya mengikuti istilah bid’ah secara bahasa. Sebagian orang terlalu mudah mengatakan bid’ah hanya dengan dalih amalan-amalan itu tidak pernah ada di zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan para ulama’ kita banyak yang memrakarsai kegiatan-kegiatan tersebut, dimana mereka memodifikasi tradisi terdahulu yang masih berbau syirik dan tidak berlandaskan syari’at. Para ulama’ terdahulu menyisipkan sedikit demi sedikit budaya masyarakat tersebut dengan kegiatan-kegiatan yang bernafaskan Islam dan tidak bertentangan dengan syari’at.
Tradisi sholat rebo wekasan merupakan tradisi yang paling banyak diamalkan oleh masyarakat Indonesia, timbul dari adanya kepercayaan terhadap adanya bala’ atau musibah yang akan diturunkan pada hari itu. Syeikh Abdul Hamid Quds dalam kitabnya Kanzun Najah Was-Surur fi Fadhail Al-Azminah wash-Shuhur menjelaskan: “banyak para Wali Allah yang mempunyai pengetahuan spiritual yang tinggi mengatakan bahwa pada setiap tahun, Allah menurunkan 320.000 macam bala’ bencana ke bumi dan semua itu pertama kali terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar. Oleh sebab itu hari tersebut menjadi hari yang terberat di sepanjang tahun”. Adapun dalil spesifik yang membahas bala’ akan turun di mulai hari rabu akhir bulan Shafar tidak ditemukan dalam nash al-Qur’an maupun Hadist. Akan tetapi sangat masyhur di kalangan para wali dan ulama’ kabar mengenai turunnya bala’ semacam ini. Senada dengan yang disampaikan oleh Syeikh Abdul Hamid, almarhum KH. Maimoen Zubair pernah dawuh:
“Allah menurunkan Bilahi (bala’), supaya selamat minta kepada Allah, (lakukanlah) Shalat Hajat”
Dari permulaan tentang berita akan turunnya bala’ tersebut, maka sholat rebo wekasan merupakan upaya kehati-hatian dan juga untuk meminta keselamatan kepada Allah subhanahu wata’ala. Akan tetapi, yang perlu diketahui bahwasanya dalam pelaksanaanya sholat rebo wekasan ini harus sesuai dengan pedoman Syari’at. Adapun yang sering tidak diketahui oleh orang-orang bahwasanya, dalam syari’at Islam tidak pernah ada sholat rebo wekasan secara khusus. Artinya, apabila sholat tersebut dilakukan dengan niat sholat rebo wekasan secara khusus maka sholatnya tidak sah, bahkan bertentangan dengan syari’at Islam itu sendiri.
Lantas bagaimana seharusnya sholat rebo wekasan dilakukan? Syeikh Abdul Hamid Quds dalam kitabnya Kanzun Najah Was-Surur mengatakan : “shalat sunnah 4 raka’at, di mana setiap raka’at setelah al-Fatihah dibaca surat al-Kautsar 17 kali lalu surat al-Ikhlash 5 kali, surat al-Falaq dan surat an-Naas masing-masing sekali; lalu setelah salam membaca do’a.” Dengan catatan sholat yang dilakukan hanya sholat sunnah mutlak atau li daf’il bala’ (tidak secara khusus niat sholat rebo wekasan), karena niat tersebut merupakan niat yang tidak di-i’tibar dalam syari’at.
Adapun Do’a setelah Sholat li daf’il bala’:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ. وَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. اللّٰهُمَّ يَا شَدِيْدَ الْقُوَى وَيَا شَدِيْدَ الْمِحَالِ يَا عَزِيْزُ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيْعُ خَلْقِكَ اِكْفِنَا مِنْ جَمِيْعِ خَلْقِكَ يَا مُحْسِنُ يَا مُجَمِّلُ يَا مُتَفَضِّلُ يَا مُنْعِمُ يَا مُكْرِمُ يَا مَنْ لَآ إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اللّٰهُمَّ بِسِرِّ الْحَسَنِ وَأَخِيْهِ وَجَدِّهِ وَأَبِيْهِ اِكْفِنَا شَرَّ هٰذَا الْيَوْمِ وَمَا يَنْزِلُ فِيْهِ يَا كَافِيْ فَسَيَكْفِيْكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَحَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ. وَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Perlu diketahui bahwasanya alm. KH. Maimoen Zubair juga selalu melaksanakan sholat rebo wekasan beserta para santri di mushola PP. Al- Anwar semasa hidup beliau.
Begitu juga dengan tradisi-tradisi yang lain, asalkan tata caranya masih benar serta tidak bertentangan dengan syari’at, maka tetap diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Seperti tradisi ngapem yang didalamnya mengandung sedekah. Sedangkan, sedekah sendiri merupakan suatu amalan penolak datangnya bala’.
Kemudian, mengenai bulan shafar itu sendiri sebenarnya merupakan bulan yang baik sebagaimana bulan-bulan yang lainnya. Maka untuk menghilangkan anggapan negatif terhadap bulan Shofar, Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam sering menyebutnya dengan (bulan penuh kebaikan) dengan bukti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan sejumlah aktivitas penting di bulan ini guna menggugurkan anggapan negatif orang-orang pada masa jahiliah. Kita tidak boleh berlebihan menganggap bahwa shofar merupakan bulan penuh kesialan, karena cobaan dan musibah bisa diturunkan oleh Allah subhanahu wata’ala kapan saja dan dimana saja. Sebagai orang mukmin alangkah lebih baik kita senantiasa ber-tawakkal, mendekatkan diri dan meminta pertolongan kepada Allah subhanahu wata’ala agar diselamatkan dari segala macam bala’ dan musibah.
Wallahu a’lam bis showab.
Oleh: M. Zidni Ilman dan Ahmad Dimyati