Dikisahkan dalam Tarikh Al-Khulafa’ karya Imam Al-Suyuthi, berkata Muhammad Ibn Sirin bahwa pada suatu waktu, Sayyidina Umar didatangi menantunya, ia meminta Sayyidina Umar untuk memberinya uang dari baitul mal. Sang Amirul Mu’minin murka, ia berkata “Apa kau mau, aku menemui Allah sebagai raja yang khianat?” Lalu sayyidina Umar memberinya sepuluh ribu dirham dari hartanya sendiri.
Ini hanya secuil dari sekian tauladan pemimpin-pemimpin dahulu (salaf) dalam mengemban amanat sebagai pemimpin masyarakat. Bagaimanapun terlampau idealisnya sikap demikian untuk diharapkan di zaman sekarang, setidaknya hal tersebut dapat menjadi potret ideal bagi para pemimpin. Untuk menumbuhkan optimisme di tengah realita yang terjadi sekarang. Mulai dari dekadensi etika-moral, bobroknya pemerintahan, sistem sosial yang amburadul, pola hidup yang berdasarkan gengsi atau buruknya ekonomi di ranah pemerintahanserta, serta gaya hidup orang-orang jaman sekarang. Semua itu timbul dari kurangnya kesadaran individu terhadap hal-hal yang bersifat ruhani. Selain beberapa hal lain yang secara spesifik turut memicu terjadinya semua itu. Termasuk korupsi yang dewasa ini nyaris menjadi tradisi.
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَغُلَّ ۚ وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ ١٦١ [آل عمران : ١٦١]
Artinya: “Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” – [Ali ‘Imran 3:161]
Sebagaimana bisa dibaca dalam Tafsir Al-Quran Al-Adzim-nya Ibn Katsir, ada beberapa pendapat perihal bagaimana ayat ini turun. Salah satunya, Ibn Abbas meriwayatkan: Bahwa seorang yang bernam Quthaifah Hamra’ tidak kebagian harta rampasan pada saat perang Badr. Orang-orang mengira, Rasulullah shallahu`alaihi wasallam menggelapkannya. Lalu ayat ini turun sebagai pembelaan terhadap Rasulullah shallahu`alaihi wasallam dan ancaman bagi yang melakukan penggelapan harta rampasan. Dalam Az-Zawajir, term “penggelapan” atau “ghulul” (الغلول), tidak hanya untuk menggelapkan harta rampasan. Namun itu menjadi term untuk segala bentuk penggelapan.
Dalam Islam, sulit ditemukan term yang me-lafadzi “korupsi” secara utuh. Namun korupsi mengandung beberapa unsur yang semuanya dinilai negatif oleh Islam. Unsur-unsur itu adalah:
° Penggelapan (fraud) atau ghulul (الغلول). Selain ayat yang telah disebutkan di atas, Rasulullah shallahu`alaihi wasallam bersabda:
إياكم والغلول، فإنّ الغلول خزي على صاحبه يوم القيامة. رواه إبن ماجه
Artinya: “Berhati-hatilah dengan penggelapan harta. Sesungguhnya itu adalah aib bagi pelakunya kelak di hari kiamat” [HR. Ibn Majah]
° Suap (bribery) atau risywah (الرشوة). Rasulullah shallahu`alaihi wasallam bersabda:
لعنة اللّٰه على الراشي والمرتشي. رواه إبن حبان وإبن ماجه
Artinya: “Allah subhanahu wata’ala melaknat ia yang menyuap dan menerimanya” [HR. Ibn Hibban & Ibn Majah]
° Pencurian atau sariqah (السرقة). Rasulullah shallahu`alaihi wasallam bersabda:
ولا يسرق السارق حين يسرق وهو مؤمن. رواه البخاري والمسلم
Artinya: “Pencuri bukanlah termasuk mukmin ketika ia mencuri” [HR. Bukhari & Muslim]
Semua unsur-unsur itu, termasuk dalam larangan Allah subhanahu wata’ala yang terejawantah dalam ayat yang ada sebagai perlindungan terhadap kepemilikan manusia baik secara individu maupun komunal.
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ 188 [البقرة: 188]
Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” [QS. Al-Baqarah: 188]
Secara bahasa korupsi berasal dari bahasa latin “Corruption” yang berarti kerusakan, kebobrokan atau suatu keadaan/perbuatan yang buruk. Dalam bahasa Indonesia, istilah korupsi sering dikaitkan dengan ketidakjujuran. Melakukan korupsi berarti melakukan kecurangan atau penyimpangan terkait keuangan. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, korupsi diartikan sebagai perbuatan yang buruk. Seperti penggelapan uang, penerimaan uang suap dan lain sebagainya. Selain itu, dalam peraturan Penguasa Militer nomor PRT/PM-06/1957, istilah korupsi antara lain dimaknai sebagai perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara. Dalam perkembangan selanjutnya, korupsi tidak hanya meliputi persoalan keuangan. Namun juga meluas ke ranah gratifikasi dan nepotisme.
Secara umum diakui, bahwa korupsi adalah problem yang berusia tua seiring kehidupan manusia. Syed Hussein Alatas menulis di monografnya yang bertajuk Sosiologi Korupsi:
“Sepuluh tahun yang lampau (berarti dari sekarang, 54 tahun yang lalu. Sebab monograf itu ditulis tahun 1975) terlanda oleh korupsi pada berbagai tingkat kehidupannya. Perkembangbiakannya betul-betul terpelihara dan secera dengan diam-diam dilindungi oleh mereka yang berkuasa. Sesudah usaha (yang gagal) kaum komunis untuk merebut kekuasaan pada 30 September 1965 yang diikuti oleh naiknya jendral Suharto dan jendral Nasution pada puncak kepemimpinan melawan barisan komunis-Sukarno, gerakan-gerakan yang lebih terbuka untuk melawan korupsi muncul”.
Selain dampaknya yang luar biasa, korupsi juga tidak mudah diatasi dengan kepastian atau spekulasi teoritis yang berdasarkan pada data-data hasil berbagai hipotesa. Korupsi telah membut Ibn Khaldun (1332-1406 M.) dipecat dari jabatannya sebagai hakim. Lantaran usahanya yang keras membasmi suap dan korupsi. Ada banyak nama yang muncul ke permukaan sejarah sebagai penolak korupsi getol. Sebut saja Imam Ahmad Ibn Hanbal yang memutus komunikasi dengan putra-putranya selama dua atau tiga bulan lantaran putra-putranya itu diketahui menerima pemberian-pemberian dan uang dari Khalifah dengan diam-diam. Selain itu, ada Abu Tayeb, Wang An Shih atau pemimpin politik dan reformis Islam Afrika Utara, Shehu Uthman dan juga Fadio.
Namun secara umum dan mendasar, sebagaimana dikemukakan Ibn Khaldun (1332-1406) bahwa sebab utama korupsi adalah nafsu hidup mewah dalam kelompok yang memerintah. Sebab-sebab lain menurutnya, merupakan efek lanjutan yang disebabkan oleh korupsi selanjutnya. Para pemerhati lain juga menyebutkan, bahwa faktor fundamental terjadinya korupsi ada pada individu yang menjadi komponen struktur pemerintahan atau instansi tertentu.
Oleh sebab itulah, perbaikan individu dinggap lebih efektif dalam usaha memberantas korupsi yang terlampau mengakar. Sebab semua faktor yang telah disebutkan, dengan sendirinya tidak mungkin berlaku, jika tidak ada sejumlah individu yang punya kesempatan untuk melakukan korupsi. Dalam konfingurasi faktor-faktor ini, kaliber moral individu yang bersangkutan menentukan. Seperti tulis SH. Alatas dalam monografnya. Kendati harus pula mengaplikasikan solusi-solusi lain yang berkaitan dengan tatanan sosial atau yang lain.
Hal ini didukung oleh Wang An Shih dalam analisis terakhirnya, bahwa yang ia yakini, dua prasarat mutlak dalam melawan korupsi adalah para pemegang kekuasaan yang bermoral tinggi dan hukum yang efisien serta rasional. Di sinilah Tashawwuf menemukan ruangnya sebagai solusi. Tashawwuf mendeteksi kecendrungan konsumtif atau hub ad-dunya dan ambisi terhadap tahta atau hub al-jaah dalam individu manusia. Tasawuf memiliki beberapa perangkat untuk mengibatinya dalam terapi tazkiyat an-nafsi (membersihkan diri) dari kecendrungan-kecendrungan hina yang dipicu oleh nafsu.
Secara global, ada beberapa hal yang ditawarkan Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum Ad-Din-nya. Yaitu dengan sabar, pengetahuan dan amal dalam membendung dua kecendrungan di atas. Salah satunya adalah dengan mengetahui sifat dunia yang sementara juga betapa beratnya amanat tahta. Juga beberapa metode lain dalam meminimalisasi dorongan-dorongan hawa nafsu. Katakanlah zuhd (asketis), wara’ atau qanaah.
Jika individu sebagai komponen telah baik, dengan sendirinya struktur atau tatanan menjadi baik pula. Maka Indonesia sebagai negara tanpa korupsi bukanlah utopia.
Akhirnya, sebagai penutup, di tengah hiruk-pikuk kontestasi ambisi, ada baiknya sejenak saja kita berkaca ke masa lalu (salaf). Manakala jabatan bukan menjadi objek pencapaian ambisi, tapi merupakan hal yang malah dihindari. Dengarlah alasan Ibn Umar ketika menolak permintaan Sayyidina Utsman untuk menjadi qadli. Sayyidina Utsman bertanya “Apa gerangan yang membuatmu enggan? Padahal ayahmu adalah seorang qadli?”. Ibn Umar menjawab “Aku mendengar Rasulullah shallahu`alaihi wasallam bersabda: “Dia yang menjadi qadli dan memutuskan (perkara) dengan ketidak tahuannya, ia akan masuk neraka. Siapa yang menjadi qadli dan memutus (perkara) dengan sewenang-wenang, maka dia adalah ahli neraka. Dan siapa yang menjadi qadli dan memutuskan (perkara) dengan benar dan adil, maka sebaiknya ia berpaling dan menyingkir” maka apa yang kuharapkan dari itu?”
Oleh: Tabik, Zainul Muqit