Sudah tidak asing bagi kita, mendengar seseorang mengaku dan menyebut dirinya sebagai hamba Allah. Pengakuan seperti itu boleh-boleh saja dan memang sebuah pengakuan yang benar. Bukankah Allah menciptakan manusia untuk beribadah kepadaNya?. Bahkan panutan kita, Rasulullah shallahu`alaihi wasallam telah mengajarkan kita, betapa derajat hamba itu tinggi di mata Allah, lebih tinggi dari derajat seorang penguasa. Telah dikisahkan bahwa, pernah suatu saat Malaikat Jibril duduk bersama Rasulullah. Kemudian Rasulullah menatap ke arah langit. Beliau melihat sosok Malaikat yang turun ke bumi dan Malaikat Jibril berkata bahwa ia adalah malaikat yang tidak pernah turun ke Bumi semenjak ia diciptakan. Kemudian malaikat tersebut menghampiri Rasulullah dan berkata: “Hai Muhammad, Tuhanmu telah mengirim aku kepadamu. Apakah engkau memilih menjadi raja dan seorang rasul atau engkau memilih tetap menjadi hamba dan seorang rasul?”. Malaikat Jibril pun memberikan nasehat kepada Rasulullah untuk bertawaduk kepada Allah. Lantas Rasulullah menjawab: “Aku tidak memilih untuk menjadi raja, tapi aku lebih memilih untuk menjadi hamba dan seorang Nabi”. Di dalam kisah ini Rasulullah menunjukkan kepada umatnya, betapa luar biasanya identitas hamba, betapa dunia ini pada hakikatnya adalah tidak berarti apa-apa. Beliau itu hanya duduk di atas tanah bukan di permadani, tidurnya pun di atas tikar yang anyamannya sampai membekas di lambungnya. Beliau juga makan layaknya seorang hamba lainnya, selalu bersyukur ketika makan dan bersabar jika lapar sedang melanda.
Kita sebagai umat Rasulullah dalam rangka ikut pada ajaran beliau, tentu harus mengetahui apa itu seorang hamba? Untuk apa kita menghamba? Bagaimanakah cara menghamba?. Mari kita bahas hal ini perlahan-lahan.
- Arti Seorang Hamba
Secara teoritis, tidak ada makhluk Allah yang lebih istimewa dari pada manusia. Manusia memiliki daya hidup, mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berfikir dan memutuskan. Di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa termasuk salah satu fungsi penciptaan manusia adalah sebagai “abdun”, yang berarti hamba, tunduk, dan patuh.
Dalam konteks sebagai abdun, manusia diciptakan oleh Allah untuk menjadi hamba yang tunduk dan patuh kepada penciptanya dengan kesadaran dari diri sendiri, bukan karena paksaan. Manusia lebih dituntut untuk berfikir, memilih dan memutuskan bahwa dirinya adalah hamba atau bukan. Memilih menjadi seseorang yang sadar bahwa memang seharusnya dia harus patuh atau tidak. Maka, dalam arti yang lain abdun juga bisa berarti kesadaran akan ke-hambaan-nya, kesadaran akan kewajiban yang harus ia lakukan kepada Tuhannya.
- Kenapa kita harus “ngumawulo”?
Pada dasarnya, untuk menjawab pertanyaan di atas tidak memerlukan berbagai alasan yang bertele-tele. Cukup dengan kesadaran bahwa Allah adalah Sang apencipta, Allah adalah Dzat yang memberikan semua kenikmatan, Allah adalah Dzat yang memberikan kita hidayah untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kemaksiatan. Bukankah hal tersebut sudah sangat cukup, untuk menjadi alasan bagi kita beribadah, ngumawulo kepada Allah?. Namun disamping itu semua, Allah subhanahu wata’ala begitu baik kepada kita. Dalam Al-Qur’an Allah bahkan memberikan jaminan masuk surga kepada orang-orang yang menghamba kepada Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
(يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ * ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً * فَادْخُلِي فِي عِبَادِي * وَادْخُلِي جَنَّتِي)
Artinya: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama´ah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr : 27-30)
Ayat di atas menunjukan bahwa Allah telah memberikan kenikmatan berupa masuk surga kepada siapa saja yang menghamba kepadaNya. Dalam ayat tersebut, Allah telah memberikan salah satu ciri dari seorang hamba, yaitu rida kepadaNya dan Allah juga meridainya.
Dari penjelasan di atas, kita bisa mengerti dengan jelas, sifat belas kasih Allah yang sangat luar biasa. Bahkan pada sesuatu yang seharusnya manusia lakukan, Allah masih memberikan imbalan. Selain itu, menjadi seorang hamba memiliki peranan besar dalam upaya kita melawan musuh abadi umat manusia yaitu setan. Dalam hal ini Allah telah berfirman:
(إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ)
Artinya:”Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat.” (QS. Al-Hijr : 42)
Sebagai musuh umat manusia, Setan telah bersumpah dihadapan Allah akan menggoda umat manusia dari segala penjuru. Namun Allah memberikan solusi kepada manusia bahwa masih ada dua arah yang sangat vital, Yakni atas dan bawah. Dalam artian selama kita bertawakal kepada Allah, menghamba kepada Nya, ikhlas dan ridha atas apapun kehendakNya, serta selalu bertawaduk, maka insya Allah kita akan selamat dari godaan Setan. Dalam hal ini, Allah menyebut orang yang bersikap demikian sebagai عباد الرحمانِ.
(وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا * وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا)
Artinya: “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan katakata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. Al-Furqan : 63 – 64)
Ini mungkin hanya sebagian alasan kita, kenapa harus menjadi hamba. Namun, alasan-alasan yang telah diuaraikan sudah cukup menjadi pemicu kesadaran kita tentang pentingnya menjadi hamba Allah subhanahu wata’ala.
- Ikhlas Sebagai Gaya Hidup Seorang Hamba
Manusia yang merupakan makhluk paling mulia disisi Allah subhanahu wata’ala, tentu memiliki tugas-tugas dan nilai tertentu di dalam kehidupannya. Sehingga predikat seorang hamba Allah layak dan pantas ia raih. Untuk itu, dalam memaknai siapa sesungguhnya hamba Allah tersebut?, Apakah hanya terkhusus pada orang-orang tertentu seperti para Nabi, para Rasul, para auliyaillah atau yang lainnya?. Ataukah bisa dimaknai dan dikategorikan pada siapa saja yang berhak mendapat predikat hamba Allah. Untuk memberikan gambaran sederhana, tentang siapa saja hamba Allah itu, kita bisa melihat makna dari ayat-ayat Al-Qur’an yang mencerminkan sifat dan gaya hidup seorang hamba Allah. Dalam hal ini mari kita kembali pada firman Allah subhanahu wata’ala:
(وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ)
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah : 5)
Makna ayat ini adalah bahwa tidaklah mereka diperintahkan untuk melaksanakan seluruh syariat kecuali agar mereka hanya mengharap wajah Allah dalam ibadahnya. Meninggalkan kesyirikan menuju iman, menegakkan shalat, dan mengeluarkan zakat. Itulah agama yang lurus yaitu Islam. Ayat di atas menunjukan adanya keterkaitan antara hamba (pengabdian) dan keikhlasan. Dengan demikian, dalam setiap tindakan dan setiap ibadah seorang hamba harus berlandaskan keikhlasan, yakni hanya untuk mengharap keridaan Allah, bukan untuk mencari ridha manusia atau perhiasan Dunia.
Penanaman sifat ikhlas dalam diri seorang hamba merupakan sebuah keharusan. Allah tidak menerima amal perbuatan yang tercampuri dengan urusan-urusan lain yang selain Allah. Akan tetapi, pada kenyataanya penanaman sifat ikhlas memiliki hambatan yang sangat besar, yaitu pola pikir manusia. Pada umumnya, manusia merasa bahwa harta, kesehatan, akal, kesadaran beribadah adalah miliknya. Mereka lupa bahwa semua itu adalah anugerah yang diberikan oleh Allah. Pola pikir yang demikian akan mempengaruhi kualitas ibadah yang dilakukan oleh manusia, sehingga akan memunculkan haddzun nafsi (bagian nafsu).
Bukan hal yang mudah membangun sifat ikhlas dalam diri kita. Bagaimana mungkin kita ikhlas bersedekah, jika kita merasa bahwa uang itu milik kita? Alih-alih ikhlas, hal ini tentu menimbulkan pemikiran bahwa orang yang kita sedekahi berhutang budi pada kita, menimbulkan pemikiran Allah harus membalas jasa ini. Bagaimana mungkin kita ikhlas beribadah, jika kita merasa kesadaran ibadah itu dari diri sendiri, kita merasa bahwa kesehatan adalah karena kita sendiri? Hal ini bahkan menjadikan kita banyak menuntut balas budi kepada Allah, meminta imbalan yang setimpal dan bahkan mungkin berlipat ganda.
Tentu hal-hal yang telah disebutkan adalah sebuah pemikiran yang keliru dan perlu dibenahi. Kita, sebagai hamba Allah harus mempunyai pola pikir yang benar. Sebagai langkah awal dan paling pokok dalam membentuk sifat ikhlas, kita harus berfikir bahwa segala sesuatu adalah milik Allah, Dunia dan isinya adalah milik Allah, anggota tubuh kita milik Allah, segala kebaikan adalah hidayah Allah. Maka, dengan cara berfikir seperti ini, kita akan perlahan meruntuhkan sifat kikir, sombong, tidak tahu diri dan riya’. Dengan hilangnya sifat-sifat tercela tersebut, kita akan lebih mudah melakukan amal kebaikan dengan ikhlas semata-mata mengharap ridaNya.
Sebagai pungkasan, kami berharap kepada Allah untuk memberikan segala kemudahan kepada kita semua. Semoga kita diberi pertolongan dalam upaya kita menjadi hamba Allah yang sejati. Aamiin.
Oleh: Abdul Majid
Samsung Demo Phone
The Samsung Demo Phone currently tops our rank of the greatest Samsung phones available, beating even the pricier iPhone Ultra Max Mega.
So unsurprisingly this is an absolutely fantastic phone. The design isn't massively changed from the previous generation, but most other elements have been upgraded. This is what we call a big boost.
-
Display
-
Performance
-
Features
-
Usability
-
Battery Life