Bicara tentang tasawuf pasti tidak akan lepas dengan kata wira’i, zuhud, sabar, tawakal dan lain sebagainya yang berkaitan dengan maqomat seorang yang suluk menuju kepada Allah ta’ala.
Pada buletin kali ini, kami akan sedikit membahas topik zuhud yang sering disalah artikan oleh sebagian orang sebagai konsep konsep yang bertolak belakang dengan kemajuan, peradaban, perkembangan teknologi dan kaku terhadap sosial sehingga berkesimpulan zuhud adalah konsep yang membuat umat islam menjadi tertinggal, hidup sengsara, keterbelakangan dan lain lain. Tapi apakah benar demikian?
- Definisi Zuhud
Para tokoh sufi terdahulu mempunyai definisi sendiri tentang zuhud seperti Imam Al-Qusyairi yang mengartikan zuhud dengan “Tidak bangga dengan apa yang dimiliki dan tidak merasa sedih saat kehilangan harta yang dimiliki”, pengertian ini sealur dengan firman Allah ta’ala:
لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوْا بِمَا آتَاكُمْ (سورة الحديد: 23)
Artinya: (Yang demikian itu kami tetapkan) agar kamu tidak bersedih terhadap apa yang luput dari kamu dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. (Al-Hadid: 23).
Imam Junaid Al-Baghdadi mengartikan zuhud dengan bersihnya tangan dari kepemilikan dan hati dari ambisi terhadap dunia, Imam Abu Sulaiman Ad-Daroni mengartikan zuhud dengan meninggalkan sesuatu yang membuat kita jauh dari Allah, maka secara umum bisa kita simpulkan zuhud merupakan sarana mencari ridla Allah dengan cara meninggalkan cinta terhadap gemerlapnya dunia, menjauhi sesuatu yang dapat menjauhkan hamba dari sang pencipta, hal ini selaras dengan hadits nabi Muhammad yang diriwayatkan Imam Ibnu Majah, diceritakan ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah lalu berkata “Wahai Rasulullah, tunjukkan aku sesuatu yang ketika aku mengamalkannya aku akan dicintai Allah dan manusia” kemudian beliau menjawab
ازْهَدْ فِيْ الدُّنْيَا يُحِبُّكَ اللهُ وَازْهَدْ فِيْمَا فِيْ عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ
Artinya: Tinggalkan (kesenangan) dunia, maka kamu akan dicintai Allah dan tinggalkan apa yang ada pada manusia maka kamu akan dicintainya.
Pada hadits tersebut, Rasulullah mengajarkan kita untuk menanamkan sifat zuhud pada diri kita, sebab cinta dunia akan menjadikan kita terlena dengan tujuan hidup di dunia, Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللهِ الْغَرُوْرُ (سورة فاطر: 5).
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah. (Al-Hadid: 5)
Rasulullah pernah bersabda: “Andaikan menurut Allah dunia setara dengan sayap lalat maka Allah tidak akan memberi orang kafir seteguk minum pun”. Hadits ini menunjukkan betapa remehnya dunia menurut Allah hinanya dunia yang dijelaskan pada ayat dan hadits di atas bukanlah hina secara dzatiyahnya, akan tetapi itu merupakan bentuk peringatan agar hati kita tidak disibukkan dengan dunia dengan menjadikannya sebagai tujuan utama lupa dengan tujuan hidup yang mendasar yaitu mencari ridlo Allah, sebaik baiknya dunia adalah media yang dijadikan sarana mendekatkan diri kepada Allah dan sejelek jelaknya adalah jika dijadikan sebagai sesembahan (tujuan utama), dalam konteks ini Imam Al-Manawy berkata “Dzatiyah dunia tidak tercela karena menjadi ladang untuk akhirat, barang siapa memanfaatkannya demi menjaga dasar atau pokok syariat maka dunia kelak akan menjadi penolong di akhirat. Sebab demikian maka jangan kau teguh dengan dunia karena tidak akan kekal kepada satu orang pun dan jangan kau tinggalkan dunia karena akhirat tidak akan kau capai kecuali dengannya”.
Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani memberikan ungkapan zuhud haqiqi dengan ungkapan yang jelas dan menyeluruh
“Keluarkan dunia dari hatimu dan letakan pada tanganmu atau lengan bajumu maka hal itu tidak akan mebahayakanmu”.
- Jalan menuju zuhud
Setelah kita tahu bahwa zuhud adalah salah satu media untuk membersihkan hati dari bergantung kepada selain Allah, maka jalan menujunya merupakan sesuatu yang penting serta memerlukan usaha dengan sunguh sungguh dan efektif, yang tak kalah penting dari semua itu adalah pengawasan dari seorang mursyid kepada muridnya untuk menunjukkan jalan yang benar dengan melewati tahapan demi tahapan dengan hikmah dan pengetahuan dan menjauhi perkara yang dapat menggelincirkan.
Banyak dari mereka salah dalam mengartikan zuhud, mereka berpenampilan seperti orang miskin, dan mencaci orang yang bergelimang harta padahal hatinya di penuhi cinta dunia, mereka merasa sudah sampai kepada maqom zuhud yang sebenarnya, padahal tidak, mereka hanya menuruti nafsunya.
Melihat orang yang mempunyai pemahaman demikian, Imam Al-Manawy sampai berkata “Zuhud adalah mengosongkan hati dari cinta dunia bukan menjauhinya (secara keseluruhan), sungguh sekelompok orang bodoh menyangka bahwa zuhud adalah menjauhi perkara halal, tidak bersosial, menyianyiakan hak, memutus tali persaudaraan, menjauhi manusia, masam mukanya di hadapan orang kaya sedang di dalam hatinya terdapat cinta harta sebesar gunung dan mereka tidak tahu bahwa zuhud yang sesungguhnya ada di dalam hati dan inti dari semua itu adalah lenyapnya syahwat dari hatinya, ketika mereka menghilangkannya dari anggota badan mereka menganggap sudah sempurna mencapai derajat zuhud dan hal tersebut sudah banyak masuk terhadap para ulama”.
Merupakan jalan menuju zuhud haqyqy adalah riyadoh atau mujahadah yg dilakukan para sufi atau mursyid dengan menyedikitkan makan, memakai baju lusuh dan lain-lain merupakan pelatihan untuk membersihkan hati dari cinta dunia. Tidaklah rosul memakan makanan sederhana, mengganjal perutnya yang mulia dengan batu padahal di tawarkan kepadanya gunung yg akan di jadikan emas kecuali hanya untuk menjelaskan bahwa hal tersbut merupakan syariat dari beliau (haqoiq ‘ani at-tasawuf, bab zuhud).
Mursyidul kabir Syekh Abdul Qodir Al-Jailani membimbing muridnya pada permulaan perjalanan sufi dengan mujahadah dan melatih muridnya untuk hidup sabar dan sederhana kemudian setelah station ini selesai barulah menuju tingakatan zuhud hati (zuhud haqiqi) sehingga tidak ada perbedaan bagi seorang murid meminta maupun memberi, kaya atau miskin dan hatinya kosong dari bergantung kepada selain Allah.
Dapat disimpulkan bahwa untuk menjauhkan manusia dari sikap cinta terhadap dunia, dibutuhkan maqam zuhud yang mencakup tiga hal dalam Al-Qur’an, yaitu; mendahulukan perkara akhirat daripada perkara dunia, tidak berlebihan dalam mencintai dunia, dan menahan hawa nafsu. Tiga hal ini dapat dijadikan patokan dasar untuk mengarungi kehidupan agar umat Islam mendapatkan kebahagian di dunia dan juga akhirat.