Kita sebagai manusia pasti tak akan lepas dari berbagai masalah yang silih berganti menimpa, dan Allah telah menganugerahkan akal dan pikiran kepada kita yang bisa menjadi bekal untuk menghadapinya, namun tentu kita tahu bahwa akal dan kemampuan yang kita miliki tidaklah sempurna dan akan tumbang ketika sudah mencapai batasnya, sehingga perlu kita tanamkan dalam diri kita rasa tawakkal kepada Allah Ta’ala untuk menghadapi setiap hal yang sedang kita hadapi, karena Allah Ta’ala telah menjanjikan kepada kita, jika kita pasrahkan semua urusan kepada-Nya maka Dia-lah yang akan menolong kita untuk menyelesaikan semuanya, sebagaimana firman-Nya:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ﴾ (الطلاق: 3).
“Siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allah-lah yang menuntaskan urusannya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mengajarkan kepada kita untuk menyandarkan segala urusan hanya kepada Allah, bukan kepada diri kita sendiri. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abi Bakroh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdo’a:
“اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ” (رواه أبو داود)
“Ya Allah hanya rohmatMu-lah yang aku harapkan, maka janganlah Engkau menjadikanku bersandar kepada diriku sendiri (dalam menghadapi segala sesuatu) sekejap matapun, dan perbaikilah segala urusanku, tiada tuhan selain-Mu.”
Para ulama juga menjelaskan kepada kita, tentang betapa pentingnya rasa tawakkal dalam hati seorang hamba, karena jika kita sandarkan urusan kita pada diri sendiri, maka di ujung nanti hanya ketidakmampuanlah yang kita temui, namun jika kita sandarkan segalanya kepada Allah yang maha kuasa, maka saat itulah Allah akan jadikan segala sesuatu takluk kepada kita.
Tawakkal Adalah Jalan Keluar Dari Segala Kesulitan
Banyak sekali para Nabi Allah Dan para waliyyullah yang diuji dengan cobaan-cobaan yang besar dan mereka mampu melewatinya karena besarnya tawakkal mereka kepada Allah, di antaranya adalah kisah Nabi Muhammad dan sahabat Abu bakar As-Shiddiq ketika beliau berada di gua Tsur untuk bersembunyi dari kejaran kafir Quraisy, yang saat itu keduanya berada dalam kondisi yang sangat terpojok, mereka terkepung oleh orang-orang kafir tanpa adanya senjata, pasukan maupun tentara, namun di saat itulah Allah Ta’ala kirimkan pasukan-pasukan tak kasatmata, yang menjaga keduanya dari berbagai macam ancaman dan mara bahaya. Hal itu disebabkan besarnya rasa tawakkal mereka kepada Allah sehingga Allah-pun menyelamatkan keduanya, sebagaimana firman-Nya:
﴿إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَى وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (40)﴾ (التوبة: 40)
Artinya: “Jika kamu tidak menolongnya (Nabi Muhammad), sungguh Allah telah menolongnya, (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Makkah); sedangkan dia salah satu dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, ketika dia berkata kepada sahabatnya, “Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Maka, Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Nabi Muhammad), memperkuatnya dengan bala tentara (malaikat) yang tidak kamu lihat, dan dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu seruan yang paling rendah. (Sebaliknya,) Firman Allah itulah yang paling tinggi. Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.”
Begitu pula sebaliknya, jika kita merasa Aman dari bahaya dan meninggalkan tawakkal kepada Allah maka kita tidak akan mendapatkan kemenangan dan keberhasilan seperti yang di jelaskan dalam Al-Qur’an bahwa kemenangan kita adalah murni dari Allah dan tidak sebab banyaknya pasukan serta senjata, Allah berfirman:
﴿لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ (25)﴾ (التوبة : 25)
Artinya: “Sungguh, Allah benar-benar telah menolong kamu (orang-orang mukmin) di medan peperangan yang banyak dan pada hari (perang) Hunain ketika banyaknya jumlah kalian menakjubkan kalian (sehingga membuat kalian lengah). Maka, jumlah kalian yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian sedikit pun dan bumi yang luas itu terasa sempit bagi kalian, kemudian kalian lari ke belakang (bercerai-berai).”
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa kemenangan yang dicapai para muslimin adalah murni dari Allah, seperti perang Badar, perang bani Quraidzah dan bani Nadhir, padahal saat itu mereka berjumlah sedikit ,tapi pada waktu perang Hunain yang mana pasukan muslimin berjumlah 12.000 pasukan dan pasukan kuffar hanya berjumlah 4.000 mereka meninggalkan Tawakkal kepada Allah dan mengandalkan jumlah pasukan, mereka mengatakan “kita tidak akan dikalahkan oleh pasukan yang sedikit”, lalu Allah memberikan pelajaran bahwa banyaknya pasukan tidak akan berbuah kemenangan jika meninggalkan tawakkal kepada Allah dan kebanyakan dari mereka lari ketakutan.
Baca Juga: Journey towards Design Perfection with Google Studio

Pentingnya Ikhtiyar Sebelum Tawakkal
Setelah kita tahu tentang begitu dahsyatnya faedah yang kita dapat saat menanamkan rasa tawakkal di dalam hati, terkadang hal itu membuat kita lupa akan pentingnya ikhtiyar atau usaha yang semestinya terlebih dahulu kita jalani. Bahkan dikisahkan suatu saat ada seorang pekerja yang ingin berhenti bekerja dan hanya ingin beribadah serta bertawakkal setelah dia sadar pentingnya tawakkal dikarenakan pada suatu waktu dia melihat seekor hewan yang lumpuh yang mana setiap hari Allah berikan ia rizki melalui hewan lain yang lebih kuat darinya dengan membawakan makanan kepadanya, ia pun ingin menjadi seperti burung yang lumpuh tersebut yang memiliki rasa tawakkal yang kuat, lantas ia pun ditegur oleh saudara se-imannya seraya berkata, “mengapa engkau lebih memilih menjadi yang lemah yang menunggu pemberian dari yang lain dan bukannya ingin menjadi yang kuat yang bisa membantu dan menolong orang lain?”, sontak dia pun tersadar kembali akan pentingnya nilai usaha dan ikhtiyar yang baru saja ia lupakan.
Dan perlu kita tahu, bahwa tawakkal dan ikhtiyar bukanlah dua hal yang saling bertentangan. Imam Hamdun menjelaskan bahwa tawakkal adalah “berpegang teguh kepada Allah dalam segala urusan” dan tempat tawakkal adalah hati, maka dari itu tawakkal tidak bertentangan dengan ikhtiyar karena ikhtiyar adalah usaha kita secara dhohir .
Rasulullah juga telah mengajarkan kepada kita bahwa tawakkal bukan berarti meninggalkan ikhtiyar, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Imam Tirmidzi dalam Sunannya:
حَدَّثَنَا الْمُغِيرَةُ بْنُ أَبِي قُرَّةَ السَّدُوسِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، يَقُولُ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ أَعْقِلُهَا وَأَتَوَكَّلُ، أَوْ أُطْلِقُهَا وَأَتَوَكَّلُ؟ قَالَ: اعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ. (رواه الترمذي)
Artinya: “Bahwa sayyidina Anas bin Malik berkata, “seorang laki-laki berkata kepada Nabi Muhammad, “Ya Rasulallah apakah aku ikat untaku dan pasrah kepada Allah atau aku lepas untaku lalu pasrah kepada Allah?”, Rasulullah lalu menjawab “ikatlah untamu dan bertawakkallah”.
Abuya As-Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki dalam kitabnya Al-Qudwah Al-Hasanah Fi Manhaj Ad-Da’wah Ila Allah beliau menjelaskan bahwa seorang yang giat bekerja setiap harinya bukan berarti menunjukkan bahwa orang tadi tamak, cinta dunia dan tidak bertawakkal kepada Allah karena hal itu tidak saling berkaitan, bahkan kita sering melihat orang yang seperti itu memiliki kelebihan suka berbagi kepada sesama (al-yadu al-‘ulya).
Penulis: Saiful Falah & Abdurrohman