Semua manusia tentunya menginginkan semua amal ibadahnya baik sholatnya, puasanya dan doanya diterima oleh Allah ta’ala dan mendapatkan balasan sebaik-baiknya berupa surganya Allah Ta’ala. Salah satu penyebab ibadah kita diterima oleh Allah Ta’ala antara lain;
Yang pertama, ibadah yang kita lakukan harus dilandasi dengan iman. Amal soleh yang mendapatkan balasan surga dari Allah Ta’ala disebutkan di dalam Al-Quran sebanyak sepuluh kali dan selalu dikaitkan dengan iman, yaitu dalam surah Al-Baqoroh: 277, surah Yunus: 9, surah Hud: 23, surah Al-Kahfi: 30 dan 107, surah Maryam: 96, surah Luqman: 8, surah Fusshilat: 8, surah Al-Buruj: 11 dan surah Al-Bayyinah: 7. Hal itu menunjukkan bahwa salah satu syarat amal ibadah kita bisa diterima oleh Allah Ta’ala harus dilandasi dengan iman. Allah Ta’ala, berfirman;
﴿اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنّٰتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا (١٠٧) ﴾
Artinya, “Sesungguhnya, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, untuk mereka disediakan surga Firdaus sebagai tempat tinggal.” (QS. Al-Kahfi:107)
Iman artinya setiap orang yang melaksanakan amal soleh harus meyakini bahwa itu merupakan perintah dari Allah, atau merupakan anjuran dari Allah Ta’ala, sehingga dengan demikian kita akan meyakini bahwa amal yang sudah kita lakukan sudah sesuai dengan syariat.
Yang kedua, ibadah yang kita lakukan harus dilandasi dengan ilmu, artinya kita mengetahui dan memahami bahwa ibadah yang kita lakukan itu benar-benar sudah sesuai dengan syariat Islam, sebagaimana yang sudah dikutip sebelumnya. Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad mengingatkan kita tentang bahayanya melakukan amal ibadah tanpa didasari dengan ilmu. Beliau mengatakan;
(وَاعْلَمْ) أَنَّ مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ الضَّرَرُ الْعَائِدُ عَلَيْهِ بِسَبَبِ عِبَادَتِهِ أَكْثَرُ مِنَ النَّفْعِ الْحَاصِلِ لَهُ بِهَا، وَكَمْ مِنْ عَابِدٍ قَدْ أَتْعَبَ نَفْسَهُ فِيْ الْعِبَادَةِ وَهُوَ مَعَ ذَلِكَ مُصِرٌّ عَلَى مَعْصِيَةٍ يَرَى أَنَّهاَ طَاعَةٌ أَوْ أَنَّهَا غَيْرُ مَعْصِيَةٍ
Artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya orang yang beribadah kepada Allah Ta’ala tanpa didasari dengan ilmu maka kerusakan yang diperolehnya lebih besar dari manfaat yang diperolehnya. Berapa banyak seorang ahli ibadah yang melelahkan dirinya dengan beribadah padahal dia terus menerus melakukan kemaksiatan dengan meyakini bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan taat atau perbuatan yang bukan maksiat.”
Imam Ibnu Ruslan dalam kitab Mandzumah az-Zubad mengatakan;
وَكُلُّ مَنْ بِغَيْرِ عِلْمٍ يَعْمَلُ # أَعْمَالُهُ مَرْدُوْدَةٌ لَا تُقْبَلُ
Artinya, “Setiap orang yang beramal tanpa ilmu # maka amalnya ditolak dan tidak akan diterima.”
Yang ketiga, ibadah yang dilakukan harus dilandasi dengan ikhlas, artinya apapun bentuk ibadah dan pekerjaan yang kita lakukan harus ikhlas semata-mata karena Allah Ta’ala. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari sifat riya’ yang dapat merusak amal ibadah seseorang.
Tentang pentingnya ikhlas saat melaksanakan amal ibadah, Allah Ta’ala menerangkannya di sejumlah ayat di dalam Al-Qur’an. Di antaranya Allah Ta’ala berfirman;
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ (٢٢)﴾
Artinya: “Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada simpul tali yang kokoh…” (Q.S. Luqman: 22).
Allah Ta’ala juga berfirman;
﴿وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا (١٢٥)﴾
Artinya, “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan…” (QS. An-Nisa: 125)
Yang dimaksud dengan “menyerahkan diri kepada Allah” di dua ayat di atas adalah mengikhlaskan niat dan amal perbuatan hanya karena Allah semata. Sedangkan yang dimaksud dengan “mengerjakan kebaikan” di dalam ayat itu ialah mengerjakan kebaikan dengan serius dan sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seseorang bertanya kepada Fudhail bin ‘Iyadl, “Apa yang dimaksud dengan amal yang ikhlas dan benar itu?” Fudhail menjawab, “Sesungguhnya amal perbuatan yang dilandasi keikhlasan tetapi tidak benar, tidak diterima oleh Allah Ta’ala. Sebaliknya, amal yang benar tetapi tidak dilandasi keikhlasan juga tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala. Amal perbuatan baru bisa diterima oleh Allah jika didasari keikhlasan dan dilaksanakan dengan benar. Yang dimaksud “ikhlas” adalah amal perbuatan yang dikerjakan semata-mata karena Allah Ta’ala, dan yang dimaksud “benar” adalah amal perbuatan itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Setelah itu Fudhail bin ‘Iyadl membacakan surat Al-Kahfi: 110;
﴿فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا(١١٠)﴾
Artinya: “…Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaknya ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.”
Yang keempat, menjauhkan diri dari makan makanan yang haram. Ini menjadi sangat penting karena dengannya sebagian dari iman kita menjadi sempurna, dan di zaman sekarang marak perilaku yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan dan kekayaan menyebabkan seorang muslim tidak lagi memperdulikan apakah hasil pekerjaannya halal atau haram, sebagaimana sudah diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ ، لاَ يُبَالِي المَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ ، أَمِنَ الحَلاَلِ أَمْ مِنَ الحَرَامِ
Artinya: “Akan datang kepada manusia suatu masa, di mana orang-orang tidak peduli akan apa yang diambilnya, apakah dari yang halal ataukah dari yang haram.” (HR. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah).
Salah satu bahaya besar yang disebabkan oleh mengkonsumsi makanan yang haram adalah terhalangnya doa dan ditolaknya amal ibadah. Hal ini berdasarkan pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepada sahabat Sa’d radliyallahu ‘anhu.
يَا سَعْدُ أَطِبْ مَطْعَمَكَ تَكُنْ مُسْتَجَابَ الدَّعْوَةِ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، إِنَّ الْعَبْدَ لَيَقْذِفُ اللُّقْمَةَ الْحَرَامَ فِي جَوْفِهِ مَا يُتَقَبَّلُ مِنْهُ عَمَلُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا (رواه الطبراني)
Artinya: “Wahai Sa‘d, perbaikilah makananmu, niscaya doamu mustajab. Demi Dzat yang menggenggam jiwa Muhammad, sesungguhnya seorang hamba yang melemparkan satu suap makanan yang haram ke dalam perutnya, maka tidak diterima amalnya selama empat puluh hari.”
Di dalam kitab Al-Muwattho’, Imam Malik menyebutkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Atho’ bin Yasar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ وَقَاهُ اللَّهُ شَرَّ اثْنَيْنِ وَلَجَ الْجَنَّةَ مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْه
Artinya: “Siapa saja yang dijaga Allah dari dua keburukan maka dia akan masuk surga, yaitu keburukan di antara dua rahang (makanan yang haram) dan keburukan di antara dua kaki (maksiat kemaluan). (HR. Malik).
Walhasil, ketika kita menginginkan surganya Allah Ta’ala, maka hendaklah kita melakukan amalan-amalan yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, atau amalan-amalan yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw, dan menjauhi segala bentuk perbuatan yang dilarang oleh Allah Ta’ala. Dengan catatan, amal perbuatan yang dilakukan harus dilandasi dengan iman, ilmu, ikhlas semata-mata karena Allah, dan senantiasa menjauhi segala perkara yang haram agar tidak masuk ke dalam tubuh kita sehingga amal ibadah kita bisa diterima oleh Allah Ta’ala.
Wallahu a’lamu bis showab
Sumber:
- Tafsir ibnu Katsir; jilid 1, hal. 478,
- al-Mu‘jam al-Ausath, jilid 6, hal. 310
- Risalatu al-Mu’awanah wa al-Mudzaharoh wa al-Muazaroh; hal 34
- Majmu’ul Fatawa; jilid 3, hal. 124
- Matnu az-Zubad li Ibnu Ruslan; hal. 4